Kamis, 25 November 2010

1. Judul : Prinsip kerjasama dan Prinsip Kesopanan Terhadap Tuturan Orang Papua (Satauan Analisis Pragmatik)

2. Latar Belakang Masalah
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Wijana, 1996).
Nampaknya, pernyataan Allan tersebut perlu dibuktikan dalam sebuah analisis terhadap tuturan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai “angkat tangan” terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak sesuai dengan prinsip.
Pernyataan Allan yang berbunyi “Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu…”, menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan sering terjadi. Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan “kawan-kawan”, namun beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan hasil penelitian ini. Terdapat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu terhadap maksim relevansi dan maksim kuantitas. Akan tetapi pelanggaran tersebut dianggap “wajar” oleh “kacamata” prinsip kesopanan. Lebih jelasnya, akan dibahas berikutnya dalam “Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan”



3. Masalah Penelitian

3.1 Identifikasi Penelitian
a. Pelangara-pelangaran terhada prisip-prisip pragmatik, khusnya demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan orang Papua.
b. Pegaruh situasi dan latar belakan social terhadap makna suatu tuturan.

3.2 pembatasan Masalah
Masalah penelitian ini di batasi pada masalah berikut.
1. Wujud bahasa yang di teliti hanya bahasa lisan, yang berupa dialog atau berupa tuturan.
2. Tuturan yang ditiliti adalah tuturan orang papua asli yang sedang berada di Asrama UPI

3.3 Rumusan Masalah
Untuk mencapai tujuan penelitian yang diinginkan, penulis merasa perlu merumuskan masalah masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis merumuskan masalah pada beberapa pertanyaan berikut.
1. Bagaimana pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pragmatik, khususnya demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan orang Papua?
2. Bagaimana pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan?

3.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka peneliti ini memiliki tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengetahui pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pragmatik, khususnya demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan orang Papua.
2. Mengetahui pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan.



3.5 Manfaat penelitian
1. Bagi peneliti, menambah pengalaman tentang pragmatic khususnya mengenai kajian prisip kesantunan dalam bertutur.
2. Menambah kajian tentang pragmatik, terutama dengan fenomena berbahasa yang terjadi di masyarakat.
3. Untuk orang Papua yang berda di Asrama UPI dalam bertutur memperhatikan strategi tindak tutur ketika menyambut tamu.

3.6 Defenisi Oparasional
a. Tindak tutur adalah penggunaan bahasa dan dan fungsi suatu ujaran yang dilakukan petugas dalam suatu bertutur.
b. Prinsip kerjasama adalah untuk mempermudah menjelaskan anatara makana dan daya.
c. Prinsip kesopanan adalah berhubungan dengan dua peserta percakapan.

4. Metode Penelitian
4.1 Metode Penelitian
Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode kualitatif sehingga data yang diperoleh merupakan tuturan alami narasumber. Dengan metode kualitatif ini data tidak diperoleh dari hasil wawancara secara terstruktur, tetapi melalui hasil pengamatan peneliti yang langsung ke tempat dan berinteraksi dengan orang Papua secara alami. Percakapan yang berlangsung alami direkam dengan tanpa diketahui oleh narasumber. Kemudian data yang saya peroleh dikaji dengan menggunakan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik cakap, rekam, dan catat, ketika penelitian berlangsung di Asram UPI.
Metode deskriptif adalah metode yang di gunakan untuk berupaya atau menjawab permasalahan situasi sekarang, dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi dan analisis atau pengolahan data, membuat penggambaran tentang suatu keadaaan scara objektif dalam situasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemaparan yang objek tentang strategi tindak tutur yang dilakukan orang papua yang berda di Asrama UPI terhadap tamu.
Metode ini juga yang dilakukan peneliti untuk memecahkan masalah actual dengan cara mengumpulkan data, mengklsifikasikan, menganalisis, dan menginterprestasikannya. Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, namun meliputi analisis interprestasi tentang arti data tersebut.
4.2 prosedur penelitian
4.2.1 langkahlangkah Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini sebagai berikut:
a. Peneliti berusah mendekati salah satu diantara orang papua tersebut, supaya bisa salah satu jalan untuk pendekatan kepada orang papua yang lain.
b. Peneliti merekam sewaktu memulai pengambilan data.
c. Hasil rekaman data kemudian di transkrip menjadi bentuk tulisan supaya mudah dianalisis.
4.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelti menggunakan teknik:
1. Cakap
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya menggunakan teknik cakap karena data yang akan diteliti merupakan hasil percakapan antara peneliti dan lawan penutur.
2. Rekam
Teknik yang digunakan dalam penelitia ini adalah teknik rekam karena cara yang digunakan penulis untuk memperoleh data yang dilakukan dengan merekam pengguna an tindak tutur dan oendekatan konsumenterhadap tuturan objek yang akan di teliti. Teknik ini memilki teknik lanjutanberupa teknik simak dan catat. Teknik simak dilakukan setelah pengumpulan data melalui perekaman. Setelah penulis merekam tuturan oaring Papua, kemudian disimka dilanjutkan dengan menstranskripsi hasil rekaman.
3. Catat
Mengklarifikasikan data dari hasil transkripsi berdasarkan perinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
4.2.3 Teknik Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan pengolahan data kualitatif. Setelah data terkumpul , maka peneliti melakukan:
1. Setelah penulis memperoleh data berupa tuturan orang Papua melalui proses rekaman, maka langkah selanjutnya adalah mentranskrif atu memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang di yang diujarkan saat penelitian berlangsung tanpa menbahi atau mengurangi.

2. Identifikasi Data
Identifikasi berarti mengenali cirri terhadap data yang terkumpul dari hasil proses rekam. Setelah di transkripsi maka hasil data-data diidentifikasikan dengan cara memilah-milah dalam bentuk tuturan apa saja yang berkenaan dengan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.
3. Mengklasifikasikan Data
Setelah diperoleh dari hasil proses identifikasi data yang diperlukan maka langkah selanjutnya adalah mengklarifikasikan atau menggolongkan data atau tuturan tersebut.
4. Penyalinan ke Dalam Kartu Data
Data yang diperoleh dari hasil proses kartu data, kemudia dianalisi dan di bahas berdasarkan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.
5. Analisi Kartu Data
Data yang diperoleh dari hasil proses kartu data, kemudian di analisi dan di bahas berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dari tuturan orang Papua.
6. Angket data di peroleh secara deskriptif. Berdasarkan data yang telah dikelompokkan menggunakan kartu data tersebut.
7. Menyimpulkan
Hasil dari analisis akan menghasilkan simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
4.2.4 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data tuturan orang Papua yang sedang berada di Asrama UPI dalam mengahadapi tamu.
5.Landasan Teoritis
5.1. Pengertian Pragmatik
Dalam tulisannya, Wijana (1996) mengungkapkan bahwa ilmu pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual secara eksternal. Yule (1996) dalam Subuki (2007), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995) dalam Subuki (2007) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik. Pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, pandangan ini menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, pandangan ini menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya, Thomas (1995: 22) mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. Thomas mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983) dalam Subuki (2007) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik, yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (cooperative principle), implikatur (implicature), teori relevansi, dan kesantunan (politeness).

5.2 Prinsip Kerjasama
Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. (Dewa Putu Wijana, 1996) Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.
Dalam Dewa Putu Wijana (1996) dikemukakan pendapat Grice dan Austin bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a. Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar.
c. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

5.3 Prinsip Kesopanan
Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Wijana, 1996). Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.
A. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini, Leech dalam Wijana (1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
B. Maksim kemurahan
Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

C. Maksim penerimaan
Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
D. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
E. Maksim kecocokan
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
F. Maksim kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

6.Antara Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan
Dalam Leech (1993) dijelaskan bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk mempermudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya; penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud; dan apa hubungan antara makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan kalimat pernyataan/deklaratif (non-declarative). Dengan demikian, di sinilah peranan kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain. Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu.
Fungsi sosial umum yang dijalankan oleh prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan tidak boleh luput dari perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua prinsip tersebut. Prinsip kerjasama memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama. Dalam hal ini prinsip kerjasama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana. Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Grice dalam Leech yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita sering dihadapkan pada benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan sehingga kita harus memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.
7.Hasil Penelitian dan pembahasan
Perhatikanlah cuplikan dialog pendek berikut ini!
a. Konteks: Percakapan terjadi di dalam lingkungan asrama Papua di UPI antara orang papua dan peneliti.

A (orang papua) : “silakan duduk!”
B (Peneliti) : “makasih bang.”
A (orang papua) : “ada apa dek”
B (Peneliti) : “maaf bang sudah menggangu waktunya!”
A (orang papua) : “Oh, ia tidak apa-apa aku lagi santai”

Dilihat secara sepintas, dialog tersebut terkesan sangat sopan. Namun, apabila seseorang yang membaca dialog tersebut tidak mengetahui situasinya seperti apa, maka orang tersebut akan merasa janggal dengan struktur dialognya. Kejanggalan terjadi akibat dari percakapan yang kurang relevan antara tuturan A dengan tuturan B. Ketidakrelevanan ini terjadi akibat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu maksim relevansi. Namun, pelanggaran terhadap prinsip kerjasama tersebut tidak menjadi kesalahan fatal karena pelanggaran tersebut terjadi akibat tuntutan untuk memenuhi prinsip kesopanan. Dalam setiap tuturan, prinsip kesopanan merupakan suatu aspek yang perlu, apalagi dialog tersebut terjadi dalam linkungan asara papua. Mari kita lihat tuturan B dalam dialog di atas apabila patuh terhadap maksim relevansi:


A (Orang Papua) : “silakan duduk!”
B (Peneliti) : “makasih bang.”
A (Orang Papua) : “ada apa dek”
B (Peneliti) : “maaf bang sudah menggangu waktunya!”
A (Orang papua) : “oh tidak apa-apa kebetulan juga lagi santai”

Menurut pendapat saya (berdasarkan pada orang Papua) dialog tersebut terlalu “langsung tembak” (meminjam istilah Leech) sehingga terkesan kurang sopan apalagi situasinya terjadi dalam percakapan antara seorang tamu dengan tuan rumah yang keduanya belum mengenal satu sama lain. Dalam situasi akrab atau mungkin dalam konteks kebudayaan luar papua, dialog yang “langsung tembak” tersebut sah-sah saja. Namun, lain halnya dengan orang Papua yang senang berbasa-basi, dialog tersebut akan dinilai kurang sopan karena terjadi dalam situasi yang kurang akrab. Pada bagian dialog terakhir A mengemukakan tuturan dengan maksim kerendahan hati: “oh tidak apa-apa kebetulan juga lagi santai” (padahal orang papua tersebut lagi sibuk beres-beres kamar). Tuturan yang diungkapkan A tersebut terlihat memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa suguhan orang Papua tersebut lagi sibuk beres-beres kamar.



b. Konteks: Percakapan terjadi di halaman rumah antara peneliti (tamu) dan orang papua.

A (Peneliti) : “Bang satandar orang papua supaya bisa nikah biasanya umur berapa? Apabila cerai diperbolehkan tidak bang?”
B (Papua) :” biasanya, supaya biasa nikah sekitar umur 19 di atas dan aturan budaya papua tidak di perbolehkan yang namanya cerai.
A (peneliti) : “Peraturan itu udah dari dulu ia bang? Biasanya bang kalau orang papua nikah dikasih bagian tidak bang?”
B (Papua) : “peraturan itu sudah lama, bahkan turun temurun dan biasanya kalau nikah dikasih rumah dan tanah untuk memenuhi keluaraga mereka!”.
B (Peneliti) : “peraturanya ketet juga ia bang, paling yang enaknya langsung dapat bagian untuk modal awal dalam menjalankan keluaraga.

Dialog di atas terlihat didominasi oleh tuturan pihak orang Papua. Setiap satu pertanyaan yang disampaikan Peneliti dijawab oleh orang Papua dengan lebih dari satu informasi. Dalam “kacamata” prinsip kerjasama, dialog tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Namun, coba kita telusuri lebih jauh penyebab pelanggaran tersebut dari “kacamata” prinsip kesopanan.
Umumnya, panjang pendek suatu tuturan dapat menentukan tingkat kesopanan tuturan tersebut. Hal itu sesuai dengan pernyataan Wijana (1996) bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Seperti yang terjadi pada dialog di atas, situasi dialog tersebut temasuk ke dalam situasi percakapan tidak akrab. Hal tersebut wajar saja, karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi pihak orang Papua statusnya sebagai tuan rumah. Namun, antara Peneliti dan orang Papua dalam tuturan selanjutnya terkesan lebih akrab dan lebih terbuka.
Apakah kira-kira faktor penyebab perubahan situasi percakapan tersebut?
Ternyata, disinilah peran prinsip kesopanan dibutuhkan untuk membuat situasi yang asalnya kaku menjadi lebih akrab. Sikap orang Papua yang selalu memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kehormatan bagi orang lain (maksim kerendahan hati, menurut Wijana) membuat Peneliti tidak merasa canggung untuk melanjutkan percakapan. Lain halnya apabila orang Papua menjawab sesuai dengan maksim kuantitas (jawaban seperlunya), kesan yang ditimbulkan kurang sopan dan situasi pun akan menjadi canggung.



8. Referensi
- Aziz, E. Aminudin. 2008. Horizon Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Penerbit: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
- Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan). Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Press).
- Subuki, Makyun. 2007. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari Dalam Program Studi Linguistik?. [online]. Tersedia di: www.tulisanmakyun.wordpress.com.